Author Vega Karwanda, Pangauban Rancage Gawe, Pusta Study Sunda Strategis, FISIP UNPAS, 2025
Dalam dunia yang semakin kompetitif dan penuh tantangan, kekuatan suatu bangsa tidak hanya diukur dari kemampuan militernya, melainkan dari daya tahan ekonominya dan solidaritas sosial warganya. Di tengah krisis global, ancaman multidimensi, dan disrupsi teknologi, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan untuk membangun sistem pertahanan yang tidak hanya top-down, tapi juga bottom-up: itulah Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).
Sishankamrata bukan hanya jargon militer, melainkan sebuah filosofi kolektif yang menempatkan rakyat sebagai elemen utama pertahanan negara. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana mungkin rakyat bisa menjadi garda terdepan jika mereka belum mandiri secara ekonomi dan tercerai-berai dalam kehidupan sosialnya?
Di sinilah pentingnya membangun ekonomi melalui nilai-nilai budaya, terutama budaya gotong royong — sebuah warisan luhur bangsa Indonesia yang kini mulai bergeser makna dan praktiknya.
Dari Instruksi ke Empati: Kritik atas Gotong Royong Modern
Saat ini, banyak aktivitas gotong royong berjalan karena adanya instruksi dari atasan, perangkat desa, atau tokoh masyarakat. Gotong royong tak lagi tumbuh dari empati, melainkan dari rasa kewajiban atau tekanan sosial. Ini menciptakan partisipasi yang dangkal—sekadar hadir, tanpa semangat kebersamaan sejati.
Padahal, gotong royong sejatinya lahir dari rasa saling peduli, dari empati antarsesama, dari kesadaran bahwa kemajuan bersama lebih penting daripada keuntungan pribadi. Jika gotong royong hanya hidup karena komando, maka ia akan mati ketika tak ada yang memerintah.
Aub, Hideng, dan Surti: Bahasa Lokal, Nilai Global
Dalam kebudayaan Sunda, dikenal tiga istilah luhur yang merefleksikan semangat gotong royong berbasis empati:
Aub – Merujuk pada tindakan memberi bantuan tanpa diminta. Seseorang yang "Aub" akan dengan sigap membantu tetangganya membangun rumah, mengangkat hasil panen, atau menghadapi kesulitan, tanpa menunggu instruksi atau pamrih.
Hideng – Sebuah sikap waspada, tanggap terhadap kondisi lingkungan dan orang lain. Orang yang “hideng” peka terhadap sinyal-sinyal sosial, dan tahu kapan serta bagaimana harus bertindak secara tepat.
Surti – Sebuah bentuk pemahaman batin yang halus dan mendalam terhadap situasi sosial. Surti menjadikan seseorang mampu menangkap kebutuhan orang lain, bahkan tanpa kata-kata.
Ketiganya merupakan nilai-nilai lokal yang sangat relevan untuk membangun ekonomi solidaritas dan sistem pertahanan berbasis rakyat. Namun sayangnya, istilah-istilah ini hanya hidup secara terbatas dalam masyarakat Sunda. Padahal, semangat di baliknya bersifat universal dan dapat memperkaya khasanah nasional.

Ketika Empati Lebih Kuat dari Instruksi, Budaya Gotong Royong Sunda Jadi Kunci Kemandirian Ekonomi dan Ketahanan Nasional